Tiada ada hari, aku tidak mendengar nama itu.
♦
"Tsukimori sangat cantik...," gumam teman kelasku Kamogawa, sambil mendesah, lalu murid laki-laki lainnya mengangguk secara khidmat.
"Dengar! Jangan biarkan tubuh ramping itu menipumu! Kau dengar aku? Ia juga memiliki... dada!"
Tatapan kurang ajar mereka terfokus kepada gadis yang sedang
dibicarakan, yaitu Tsukimori, yang sedang dikelilingi oleh kumpulan
gadis yang sedang berceloteh ria. Jika aku mendeskripsikan Youko
Tsukimori dalam satu kata: Ia sangat "mencolok mata".
"Tidakkah kau setuju Nonomiya?"
"Jika kau berkata begitu."
"Wow, itu jawaban yang dingin! Apakah kau benar-benar seorang
pria? Jika ada gunung, dakilah! Jika ada gadis manis, cintailah!
Bukankah itu artinya menjadi seorang pria?"
Kawanan laki-laki, yang dipimpin oleh Kamogawa, mulai menunjukkan reaksi berlebihan terhadap jawaban tak acuh dariku.
"Yah, aku hanya berpikir bahwa ia terlalu sempurna."
Ia memiliki wajah cantik, ditambah dengan perilaku baik dan nilai
akademik yang cemerlang. Kepribadiannya yang menyenangkan membuatnya
populer. Rupanya, ia juga jago dalam bidang olahraga. Youko Tsukimori
terlihat seperti gadis sempurna tanpa ada kekurangan.
"Bagaimana bisa itu disebut buruk?"
"Aku tidak pernah menyebut itu buruk. Aku hanya merasa tidak tenang ketika di dekatnya."
"Aah, benar. Bagaimana pun Tsukimori memang di luar jangkauan kita..."
Untung saja, Kamogawa menafsirkan pernyataanku menurut keinginannya.
Kesanku yang sebenarnya adalah, ia terlalu sempurna sehingga ia
membosankan, dan berada di dekatnya akan menyesakkan. Mungkin memang
kepribadianku yang sedikit aneh, tapi aku diam-diam menjaga jarak dari
Tsukimori karena aku tidak bisa menemukan kesamaan di antara kami.
Namun, para lelaki sepertinya sangat tertarik dengan gadis
populer dan mulai berbicara rumor-rumor tentang Tsukimori seakan-akan ia
adalah seorang selebritis.
"Tapi kudengar ia memiliki pacar di universitas?"
"Murid 'K', ya kan? Pria itu 3 tahun lebih tua darinya?"
"Eh? Kudengar ia kekasih Direktur suatu perusahaan..."
"Aah, jadi itulah mengapa ia mendapat uang saku ¥200,000 per bulan?"
"Tidak mungkin! Tapi kudengar dari seseorang, bahwa ia terlihat
bersama dengan guru Matematika Kumada, ketika mereka keluar dari Hotel
Cinta!"
Tidak ada lagi makna konotasi—ia benar-benar selebritis. Aku sekali lagi menyadari betapa spesialnya dia.
Tapi sekali lagi, mungkin ia tidak senang dengan status spesialnya. Setidaknya, aku tidak bisa menahannya.
"Itu hanya rumor tanpa ada bukti."
Aku tertawa perlahan karena mereka mendiskusikan hal ini dengan terlalu serius dan penuh semangat.
"Kenapa kalian tidak langsung bertanya padanya?" Oleh karena itu,
aku menentang mereka dengan pertanyaan tersebut. Hanya iseng. Dan
seperti yang kuduga, ideku langsung ditolak dengan semangat yang
terkesan seperti cemoohan.
"Tidak mungkin kami bisa bertanya hal itu padanya!"
Karena aku sangat terhibur dengan reaksi mereka, aku sedikit
memanas-manasi mereka lagi. "Jika kau mau, aku bisa bertanya sebagai
perwakilan kelas."
"Tunggu tunggu! Nonomiya! Jangan terburu-buru! Bagaimana jika rumor tersebut benar?" Kamogawa menegurku dengan terburu-buru.
"Bisa saja itu hanya rumor."
"Tapi bisa saja itu benar!"
Laki-laki lain mengangguk setuju kepada Kamogawa, "Bisa saja. Jika itu Tsukimori, sangat mungkin!"
Tentu saja Youko Tsukimori menonjol di kelas. Bisa dibilang
bahkan alamnya pun berbeda. Tidaklah aneh jika setiap orang memiliki
kesan bahwa ia telah mengalami 'dunia yang belum diketahui' oleh
murid-murid SMA; mengingat ia berperilaku sangat dewasa, rasanya sulit
dipercaya bahwa dia seumuran dengan kami.
"Kebenaran selalu tersembunyi di dalam kegelapan, huh?" Apakah
itu benar atau tidak, aku tidak masalah karena aku tidak akan tersakiti
seperti Kamogawa dan lainnya.
"Kebenaran tidak selalu yang terbaik, ya?" Sepertinya mereka
tidak bisa menganggap enteng kebenaran, karena jika kebenaran itu nyata,
maka mereka akan terganggu.
"Bukankah ini tidak efektif? Jika kalian selalu memalingkan mata
dari kebenaran, kalian tidak akan menemukan apa yang kalian cari!"
"Kami tidak peduli! Beberapa hari yang lalu, beberapa orang bodoh
menyatakan cinta padanya dan ditolak mentah-mentah. Jika kau sembrono
dalam meraih hal yang tidak mungkin, kau hanya akan terjatuh dan
menyakiti dirimu sendiri. Aku lebih suka hal yang ideal! Kau boleh
berkata bahwa kami ingin agar Tsukimori menjadi sumber fantasi kami
selamanya!"
Aku terkagum mereka dapat berkata begitu, aku pun hanya tertawa kecil. "Masa remaja sangat hebat, ya kan?"
"Hei, kita berumur 17! Jangan ganggu angan-angan kami!"
Sepertinya aku tidak boleh tertawa tadi.
"Kalau kalian memaksa, aku tidak akan mengganggu lagi."
"Ya benar! Jangan hancurkan angan-angan kami."
"Maksudmu 'cowok SMA kotor'."
"Ngomong - ngomong, siapa yang Nonomiya sukai? Tidak boleh seorang selebriti."
Kamogawa meluncurkan serangan balik yang tak terduga. Diikuti
laki-laki lain yang lompat mendekat dan mendesak, "Katakan! Katakan!"
"Hmm, coba lihat—"
Sebenarnya, tidak ada gadis yang akan kusebutkan, tapi dilihat
dari situasinya, aku tidak yakin 'cowok SMA kotor' ini akan percaya.
"—kupikir Usami yang imut."
Aku hanya asal ngomong dengan nama yang pertama kali terlintas di
pikiran, tapi mereka terlihat agak kecewa dan menampilkan wajah
canggung.
"Tidak seru. Itu terlalu biasa. Kau membosankan," keluh Kamogawa.
"Jadi kau bilang bahwa tidak biasa, jika seorang pria terpikat pada Tsukimori?"
"Menurutku, memilih dia jugalah suatu hal yang biasa, tapi
kualitasnya, boleh dikatakan, berada di level yang lebih jauh daripada
Usami! Jika Usami itu jus jeruk, Tsukimori adalah anggur."
"Bukankah jus jeruk lebih cocok dengan kita?"
"Tidak, idiot, bukan begitu maksudku. Maksudku, umm, yahh minuman
itu memiliki daya tarik tersendiri karena kau seharusnya tidak
meminumnya, kau tahu? Seperti, keingintahuan tentang hal yang dilarang
dan... hei kau mendengarku?"
"Aku mengerti kok. Tapi, aku lebih suka jus jeruk."
"Um, yah, tentu saja, Aku suka jus jeruk juga, tapi..."
Aliansi Kamogawa menggerutu dan mengerutkan muka mereka.
Walaupun Tsukimori adalah pengecualian, Usami juga sangat
menawan—untuk selevel perempuan biasa. Reaksi mereka berasal dari
keengganan mengakui bahwa aku benar, sementara mereka tidak bisa
menolaknya.
Merasa seperti pemenang, aku berkata, "Ayo bersulang dengan jus jeruk dan anggur."
Bisa dikatakan, aku merasa "kemenangan seperti mewahnya anggur."
"Kau agak berliku-liku yah kalau berbicara, kau tahu?"
"Terima kasih."
"Aku tidak sedang memujimu."
Kamogawa mungkin hanya agak kesal, tapi setidaknya aku sukses membuatnya kesal.
"—Hei, para pria! Kembali duduk! Kelas akan segera dimulai!
Tersugesti oleh suara yang memekik, mereka langsung melihat ke
arah jam. Mereka langsung bereaksi karena peringatan tersebut datang
dari orang yang dibicarakan.
"Ia benar. Ikut saja apa kata 'Jus Jeruk' dan menunggu di bangku," kata Kamogawa, semuanya kembali ke tempatnya masing-masing.
"Jus Jeruk...?" Jus Jeruk alias Chizuru Usami bertanya-tanya dan
memiringkan kepalanya. "...Aku bertaruh kalian pasti berbicara tentangku
atau sejenisnya, benarkan?"
Usami, duduk di sampingku, sembari mengerutkan bibirnya.
"Kami hanya berbicara tentang minuman."
"Bohong. Jika laki-laki berkumpul, mereka pasti berbicara tentang hal mesum atau hal bodoh," ia berkata.
Itu adalah prasangka yang tidak adil, kurasa. Walaupun begitu, aku juga tidak bisa menolaknya.
"...betapa tragisnya hidup yang telah kau lewati, Usami. Aku khawatir kepadamu."
"Jangan mengkhawatirkanku, Nonomiya! Bodoh. Aku normal! Cewek SMA rata-rata!"
Usami selalu cerewet ketika aku mengganggunya. Sekalinya begitu,
ia akan seperti hewan kecil—cukup menghibur untuk ditonton, jujur.
"Dengar, kau harus segera mengunjungi rumah sakit sebelum terlambat.
Jika terlalu malu pergi sendirian, aku bisa menemanimu ke sana, tapi—"
"—Tidak akan! Jangan melihatku dengan pandangan penuh simpati!"
Ia mendorong kepalaku menjauh dengan telapak tangannya: "Menjauhlah!"
"Bergembiralah, Usami. Sepertinya Nonomiya menyukai jus jeruk!"
Kamogawa, orang yang sedang memandangi kami, tertawa dengan muka yang terkesan hanya membicarakan hal mesum dan bodoh.
"Sudah beri tahu saja, apa sih yang kalian maksud dengan jus je—"
Usami menelan kembali kata-katanya. Guru Matematika kami, Kumada, telah masuk kelas.
♦
Suara terdengar hanyalah suara Kumada yang lemah dan goresan kapur mengenai papan tulis.
Sepertinya, perbincangan kami tadi masih mengganggunya; ia sesekali mencuri pandang padaku.
Beberapa menit kemudian, ia sudah tidak sabar. Ia memiringkan badannya ke arahku dan berbisik, "Tadi maksudnya apa sih?"
"Aku sedang berkonsentrasi dengan pelajaran, Usami-san," ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari papan tulis.
"...jangan begitu dong~"
Karena aku tetap diam, ia mulai menusukku dengan pensil
mekaniknya. Ujungnya yang lancip menembus seragam tipis dan menancap ke
kulitku.
"Hei, sakit tahu."
"Kalau begitu, jangan abaikan aku," rajuk Usami. "Ketika istirahat siang, kalian sedang membicarakan Youko-san, kan?”
"Oh, begitukah?"
"...kau selalu mengelak seperti ini, Nonomiya. Sebenarnya, aku juga tahu kau menggosipkannya!"
"Kau menguping pembicaraan kami? Aku terkejut."
"Bukan begitu! Aku tidak sengaja mendengar nama Youko-san! Karena kalian berbicara sangat keras!"
"Usami," Aku memanggilnya karena Kumada-sensei kembali menghadap kelas. Ia duduk dan berpura-pura menulis.
Setelah beberapa saat: "...Nonomiya, kau juga lebih suka gadis
yang seperti Youko-san kan?" Gumam Usami sambil melihat catatannya.
Aku melirik ke depan-kanan. Tsukimori Youko—perempuan yang
bersangkutan—menatap papan tulis dengan berkarisma. Dari samping ia
terlihat pintar, terkesan sedikit mirip seperti penyiar dari berita.
Duduk di tengah-tengah kelas, membuat auranya yang hebat terpancar, seakan-akan ia adalah jantung kelas.
Tentu saja, ia seseorang yang spesial. Meskipun begitu, aku
pribadi menghindari kontak yang berlebihan dengannya, aku sangat bisa
memahami mengapa orang-orang begitu menyukainya.
"—Tidak, tidak terlalu."
Aku tidak suka masalah, tapi aku tertarik bagaimana Usami akan bereaksi.
"Begitukah?"
Ia tersenyum, entah kenapa ia terlihat lega.
"Kami mendiskusikan kiasan ini: 'jika ia minuman', Tsukimori adalah anggur."
♦
—Reaksi apa yang akan ia tunjukkan? Aku bertanya-tanya."
"Dan, kau adalah jus jeruk."
Aku mendengar suara pensil patah.
"Ah ya?"
Usami memainkan pensil di sela-sela jarinya, berpura-pura tak
acuh. Bagaimanapun, aku tidak melewatkan pemandangan saat pipinya
memerah.
Setelah itu Usami berhenti bertanya.
Reaksinya yang jujur membuat pikiranku menjadi tenang. Aku
menyebut namanya saat itu karena iseng, tapi sepertinya aku menunjukkan
pikiranku yang sebenarnya, yang aku sendiri tidak sadari.
Setidaknya saat itu aku merasa suka pada Usami.
"...ngomong - ngomong."
Aku menganggap pembicaraan kami berakhir, tapi sepertinya masih ada yang ingin ia bicarakan.
Usami berbisik dengan ekspresi yang serius, "A-aku normal, kau
tahu? Gadis yang normal! Tidak seperti gadis aneh yang kau asumsikan
sebelumnya! Aku tidak ingin kau keliru, oke?"
Secara tidak sengaja, aku tersenyum karena kata-kata Usami yang manis.
Kejujurannya sangat menenangkanku—hampir seperti merasakan segelas jus jeruk yang enak.
Aku berharap aku bisa jatuh cinta kepadanya.
♦
Setelah rapat bulanan Pengurus Kelas, kulihat Pengurus Kelas perempuan dari kelasku keluar dengan terburu-buru.
Setelah kelas kosong, aku bersiap-siap untuk pulang juga. Karena
aku tidak masuk klub apapun, aku sudah tidak ada urusan di sekolah.
Tinggal pulang ke rumah dan bersiap untuk kerja part-time-ku.
Ketika berdiri dari kursi, aku menyadari ada buku tulis yang
tergeletak di lantai. Aku segera mengetahui milik siapa buku itu. Di
halaman depan tertulis “Youko Tsukimori”.
Aku melihat sekeliling, tapi ia tidak ada di mana-mana. Kuputuskan untuk meletakkan itu di dalam raknya sebelum pulang.
Namun sebelum kulakukan, kulihat secarik kertas yang menyembul
dari buku tersebut. Aku mengambilnya, tanpa berpikir apapun, dan
menariknya.
“…sangat tidak terduga,” aku tidak sengaja bergumam.
Yang kutarik adalah kertas A4 terlipat. Judul tertulis di kertas
itu tidak cocok dengan kesan yang orang-orang pikirkan tentang Tsukimori
maupun kesanku padanya.
Setelah yakin tidak ada orang yang melihat, aku masukkan kertas
itu ke dalam tasku. Kulakukan itu karena kuanggap akan lama membaca teks
yang panjang dan sukar dibaca.
Bisa dibilang aku mengalah pada godaan.
Tidak, saat itu aku tidak merasakan rasa bersalah sedikit pun. Yang ada di kepalaku hanyalah rasa keingintahuanku.
Aku tidak ada urusan apapun dengan si ‘Anggur’. Sejak awal, aku
tidak bisa menilai suatu minuman tanpa menyesapnya sedikit pun. Hanya
saja, ketertarikan terhadap minuman yang familiar lebih tinggi dibanding
dengan kewaspadaanku terhadap minuman yang kurang dikenal.
Singkatnya, aku tertarik dengan ‘Anggur’ yang orang-orang sangat memujinya.
“Baiklah, jadi rahasia apa yang akan terkuak dari idol kita…?”
Aku meninggalkan kelas seperti biasa.
♦
Sekitar lewat jam 10 malam, aku pulang ke rumah dari tempat kerjaku di kafe.
Sesampainya aku di rumah, aku sudah lupa tentang kertas itu. Aku
sudah menanti saat untuk membaca isi dari kertas itu, namun
bermacam-macam kejadian di kafe membuat otakku melupakannya.
Aku suka mengamati orang-orang. Bisa disebut juga sebagai hobi.
Salah satu alasan mengapa aku memilih kerja di kafe karena aku
suka kopi, alasan lain, aku juga bisa menemukan bermacam-macam orang
yang menarik di sana.
Ada wanita muda selalu duduk di tempat yang sama, sembari
memandang terpaku ke luar. Ada seorang pria muda yang gonta-ganti
perempuan di sisinya setiap kali dia datang. Ada juga pasangan yang
sangat mencintai satu sama lain sejak setengah tahun yang lalu. Dan
masih banyak lagi.
Hal-hal tersebut membuat imajinasiku bergejolak—itulah hiburan favoritku.
Kenyataannya, aku tidak berbeda dengan Kamogawa dan yang lain.
Aku, juga, hanyalah remaja biasa berumur 17 tahun. Aku tidak ingin
mengetahui kebenaran. Aku hanya ingin tenggelam dalam fantasiku.
Di tengah-tengah relaksasiku, aku sedang mandi air hangat, dan saat itu kuingat secarik kertas yang kuambil di sekolah.
Dengan badanku yang masih basah, aku berbaring di kasurku dan
membuka kertas yang terlipat. Semabri menahan diriku dari terburu-buru,
aku perlahan-lahan membaca judulnya.
♦
“Resep Membunuh”
♦
Aku merasa seperti membaca novel misteri dari penulis yang populer. Mungkin karena judulnya mirip dengan judul suatu novel.
Secarik kertas yang muncul dari buku tulis milik gadis yang orang-orang sering bicarakan—Youko Tsukimori.
Seakan-akan, tidak ada habisnya rumor tentang kehidupan asmaranya
yang jelas, tapi citra yang ia miliki tetaplah tanpa cela. Ia adalah
gadis yang tidak cocok dengan kata “membunuh”.
Mungkin kebenaran itulah yang membuatku ingin tahu. Perbedaan
bertolak belakang seperti inilah yang memiliki keajaiban untuk
menghisapmu—baik maupun buruk.
Pandanganku menyapu teks tersebut, terhisap sepenuhnya. Seperti
yang tertulis di judulnya “Resep Membunuh”, teks ini menunjukkan
berbagai cara untuk membunuh seseorang.
Aku menyadari ada bagian teks yang dihapus dan diganti, itu
menunjukkan bahwa resep ini telah direvisi berulang kali. Seakan-akan,
aku bisa merasakan napas dari orang yang menulis ini dengan tulisan agak
berantakan. Cukup jelas, boleh dikatakan demikian.
Ketika membacanya, aku menemukan satu kesamaan umum.
Sepertinya, tujuan yang paling penting adalah mengeliminasi
target tanpa membuat pelaku ketahuan. Ini bukanlah teks ditulis oleh
manusia yang bersikeras untuk membunuh—yaitu orang yang menetapkan aksi
membunuh sebagai tujuan tertinggi.
“…apakah ia bertujuan untuk menjadi seorang penulis novel misteri?”
Trik-trik ini terlihat sama seperti trik yang ditulis dalam
cerita misteri. Namun, trik yang tertulis di sini terkesan agak kikuk
dan jauh dari sempurna.
Sebagai contoh: salah satu cara membunuh berjudul “Resep Membunuh
dengan Tiruan Kecelakaan Lalu Lintas”. Isinya pun cukup simpel.
- Di jalan curam yang melewati gunung.
- Ganggu pengendara, entah bagaimana caranya
- Buatlah ia kehilangan kontrol setir.
Tertulis dengan bentuk poin-poin seperti di atas. Kata-kata
tambahan seperti, “Telepon pengendara agar ia kehilangan konsentrasi.”
atau “Taruh hambatan di jalan.” juga tertulis.
Seperti yang dilihat, tingkat kesuksesannya sangatlah rendah.
Mungkin ia masih di tahap pengumpulan berbagai ide, lantas dia mencoba
untuk menyempurnakannya?
Risiko berkurang hingga minimum, tapi kurasa rencana ini juga
tidak akan berhasil. Aku bisa lihat bahwa ia sedang berusaha, tapi ini
adalah rencana yang lemah jika ia benar-benar ingin membunuh seseorang.
Aku meletakkan ‘resep’ itu di mejaku.
Setelah memiliki harapan yang terlalu tinggi, akhirnya
kekecewaannya pun cukup menyakitkan. Isinya yang terlalu kekanak-kanakan
telah menghilangkan ketertarikanku.
“Itu hanya menyia-nyiakan kebahagian-setelah-mandiku.”
Setelah mengeluh, aku meraih lemari bukuku untuk menghilangkan rasa tidak mengenakkan dengan membaca novel misteri sebenarnya.
“…tidak, tunggu sebentar.”
Akan tetapi, aku menghentikan tanganku sendiri, lantas berpikir.
Pikiran baru yang melintas di otakku, dan membangkitkan semangatku ke
tingkat yang baru lagi.
Siapakah pemilik “Resep Membunuh” ini?
Pastilah Youko Tsukimori!
Bagaimana jika—ini murni hipotesis, ia menulis ini karena ia
serius ingin membunuh seseorang…? Seketika aku memikirkan ide tersebut,
teks berantakan itu menjadi cukup relaistis.
Mengesampingkan alasan itu untuk saat ini, ada orang
yang—bahkan—seorang Tsukimori ingin bunuh, dan ia dengan putus asa
menulis rencana pembunuhan agar hal itu terjadi.
Tsukimori melakukannya! Si sempurna, bergaya, cantik, dan pintar “Tsukimori” yang dipuja oleh semua orang!
Dan ia telah mengedit rencana pembunuhan yang kekanak-kanakan secara berulang-ulang.
“…bukankah itu imut?”
Jika hipotesisku ini benar, aku akan menjadi fans terbesarnya!
Imajinasiku pun bergerak. Aku memulai menerka-nerka seluruh jenis
pertanyaan, misalanya: siapakah orang yang ingin ia bunuh, apa motifnya
dan kepribadian apa yang tersembunyi. Aku terus memainkan imajinasiku
hingga fajar menyingsing di ufuk timur.
♦
Keesokan paginya, aku pergi sekolah sedikit lebih lambat dari biasanya.
Di saat aku memasuki ruangan kelas, kebanyakan temanku sudah hadir. Tentu saja Tsukimori berada di antara mereka juga.
Sembari berjalan ke tempat dudukku, secara diam-diam aku melirik
padanya. Ia sedang merapikan barang-barang di atas mejanya secara
berurutan. Setidaknya, bagi teman-teman di sekitarnya, hal itu terlihat
normal.
Namun tidak untukku.
“Selamat pagi, Tsukimori.” Aku menyapanya seperti biasa.
Ia berhenti melirik mejanya, memiringkan kepalanya, dan melihat
kepadaku, sembari menggunakan jari kelingkingnya untuk menyisir rambut
panjang dari mukanya—dengan elegan, “Selamat pagi, Nonomiya-kun.”
Ia menunjukkan senyum dewasanya seperti biasa.
Biasanya, percakapan kami terhenti di sini. Kami saling
mengetahui satu sama lain dengan sangat baik, sehingga kami pun hanya
bisa saling menyapa.
“Apakah kau mencari sesuatu?”
Namun, pagi ini aku tidak ingin berhenti sampai di sini saja.
Keingintahuanku membayang-bayangiku, aku menduga mungkin ia sedang
mencari “Resep Membunuh” itu.
Aku secara intensif menatapnya, tidak ingin melewati momen itu sedikit pun.
“Tidak, aku hanya merapikan mejaku.”
Sayangnya, senyumnya tidak berubah.
Aku berkata, “Oh begitu,” lalu mengarah ke tempat dudukku, sambil
berpikir sendiri bahwa kenyataan sangatlah membosankan dibandingkan
dengan apa yang ada di imajinasiku.
“Tapi…,” ia tiba-tiba memanggilku dari belakang, “mengapa kau berpikir bahwa aku sedang mencari sesuatu?”
Aku tidak bisa menahan untuk tidak menyengir dengan lebar.
Aku merasakan sensasi yang terasa seperti mangsa sudah siap untuk
masuk ke dalam jebakanku. Apa pun rasa sentimennya, semangatku mulai
bangkit karena harapan akan adanya perkembangan yang menarik.
“Tidak, tidak ada alasan khusus,” aku berbalik ke arahnya, sambil
berpura-pura bodoh. “tapi, izinkan aku menanyakan hal yang sama:
mengapa kau bertanya?”
Aku putuskan untuk menyelidiki secara perlahan.
“Aku juga tidak memiliki alasan khusus.”
“Oh, begitu.”
Di hadapanku hanya ada senyumannya yang tidak berubah. Aku merasa
ingin membekukan senyumannya itu, tapi aku tidak ingin langsung ke
intinya sekarang. Kupikir akan lebih baik menyimpan kartu as-ku di
saat-saat terakhir.
“Tapi jika…,” aku pun memulai pembicaraan lagi, “...jika kau dalam masalah, jangan keberatan untuk meminta tolong kepadaku.”
“Ada apa, Nonomiya-kun? Aku tidak ingat kau pernah sebaik ini?”
“Aku lebih baik hati dibanding yang kau kira, itu sudah pasti.”
“Maafkan aku. Kalau begitu, aku akan mengingatnya.”
“Tentu saja, motif utamaku adalah membuat gadis populer sepertimu berhutang budi padaku.”
Tsukimori terkekeh.
“Terima kasih. Aku akan langsung berkonsultasi kepadamu, Nonomiya-kun, kalau aku berada di dalam masalah.”
Tsukimori tersenyum dengan mata almondnya* yang setengah tertutup.
[Mata almond (Almond Eyes) adalah ungkapan untuk mendeskripsikan
mata sipit dan oval dengan ujung yang lancip. Kamus Besar Oxford.]
Tidak terlihat seperti ia “tidak” merencanakan apa pun. Meskipun
begitu, aku tidak akan menyangkal pengaruh dari anganku dengan
pertimbangan seperti ini.
Percakapan kami pun terhenti karena guru kelas kami, Ukai, telah memasuki kelas.
Suasana hatiku cukup bagus hari itu. Kamogawa dan rekannya yang
menyebalkan bertanya-tanya tentang percakapanku dengan Tsukimori di saat
istirahat, tapi kuanggap itu hasil yang positif karena aku sudah
menemukan betapa menggetarkan dan menghibur ketika berbicara dengannya.
Yah, meskipun hanya aku yang menikmati fantasiku sendiri.
Tetap saja, ini jauh lebih baik dibanding dengan realitas yang membosankan.
♦
Tanpa ada kemajuan atau informasi baru, rutinitas sehari - hariku yang damai berlalu, sebelum aku menyadarinya, sudah dua minggu telah berlalu sejak aku menemukan resep tersebut.
Karena tidak ada yang menggemparkan imajinasiku, kegembiraanku surut, dan aku hampir melupakan keberadaan resep itu.
Karena aku terus menahan kartu as-ku, permainannya terhenti
dengan perlahan dan tenang. Ini adalah situasi yang yang menyedihkan.
Akan tetapi, suatu perubahan terjadi secara tiba-tiba.
Mungkin… permainannya bahkan belum dimulai.
Aku pergi ke sekolah seperti biasa, dan ruang kelas sudah berisik. Tapi Tsukimori belum datang. Tempat duduknya kosong.
Aku pun terheran - heran, tapi jawabannya langsung datang.
“Hei, Nonomiya! Sudahkah kau dengar?”
Si Kamogawa yang bicara.
“Dengan apa?”
Tentu saja aku tidak tahu apa yang ia maksudkan, karena kalimatnya kekurangan objek.
♦
“Salah satu anggota Tsukimori meninggal.”
♦
Detak jantungku mempercepat.
“Siapa?” Aku bertanya sambil menahan kegirangan yang muncul.
“Ayahnya, sepertinya. Kecelakaan lalu lintas. Kuberikan simpatiku
sedalam-dalamnya kepada Youko-san…,” jawab Usami dengan tampang sedih.
“Sungguh, aku merasa simpati kepadanya. Kehilangan ayah masih dalam umur remaja, itu...”
Tidak seperti tingkah lakunya sehari-hari, bahkan Kamogawa menunjukkan tampang sedih. Itu adalah reaksi yang normal.
“…Tentu saja. Ayo kita semangati dia.”
Namun, aku memendam perasaan yang berbeda. Youko Tsukimori....
kecelakaan lalu lintas... kematian—kata kunci tersebut menuntunku ke
“Resep Membunuh” itu.
Aku—dengan putus asa—menahan seringai yang muncul di mukaku.
Ini mulai menarik.
Komentar
Posting Komentar